Deregulasi merupakan pengurangan regulasi atau
peraturan yang dikeluarkan pemerintah, dalam rangka memberikan kesempatan
kepada pasar yang lebih efisien. Deregulasi yang dilakukan akan menghasilkan
adanya peningkatan persaingan, mempertinggi inovasi dan merger diantara
perilaku bisnis atau pesaing yang lemah
Contoh deregulasi:
- kemudahan bagi bank untuk menentukan sendiri suku
bunga deposito dan dihapuskannya campur tangan Bank Indonesia terhadap bank
dalam penyaluran kredit.
Penjelasannya : Dengan keputusan ini, maka bank
dapat menentukan sendiri suku bunga deposito nya dan ini sangat menguntungkan
bank tersebut.
- kebijakan penghapusan barrier entry di industri
perbankan pada tanggal 27 oktober 1988. Dengan deregulasi ini untuk pertama
kalinya pemerintah memandang perlu untuk menciptakan iklim persaingan perbankan
melalui mekanisme pasar, guna mendorong pengerahan dana melalui perluasan
jaringan kelembagaan.
-pemerintah mengambil kebijakan melikuidasi 16 bank
yang insolvent pada awal November 1997.
- Pada awal tahun 1998 terdapat 7 bank yang
manajemennya diambil alih serta banyaknya bank yang menjadi pasien Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Selain hal tersebut konsumen perbankan
juga menuntut perhatian dan pelayanan yang lebih serius dan selalu diantisipasi
oleh pihak perbankan dalam pengambilan kebijakan-kebijakan opersionalnya.
Selain faktor keamanan masyarakat juga menghendaki berbagai kemudahan dan
keuntungan dalam kaitannya dengan alternatif investasi dana yang dimiliki
antara lain faktor harga atau suku bunga.
- Pada saat beras naik, maka pemerintah akan
melakukan deregulasi.
Hal ini di lakukan agar tidak terjadi inflasi yang
tinggi.
jadi menurut saya deregulasi dapat memberikan
keleluasaan bagi bank untuk berkembang ke arah yang lebih positif lagi, saya
juga berharap agar bank di indonesia dapat mengmbangkan produk produk tabungan
ataupun pinjaman yang menguntungkan bagi masyarakat.
Masa Penjajahan
sebelum Indonesia merdeka, tepatnya tanggal 10
Oktober 1827 di wilayah Hindia Belanda (Nusantara), sudah didirikan bank oleh
pemerintah Hindia Belanda. Bank tersebut diberi nama De Javasche Bank kedudukan
di Batavia (sekarang Jakarta). Bank tersebut bukanlah milik pemerintah, namun
semua pimpinannya diangkat oleh pemerintah. Tujuan utama pendirian bank
tersebut adalah untuk meningkatkan perekonomian pemerintah Belanda. Pada tahun
1951, De Javashe Bank di nasionalisasikan diganti namanya menjadiBank
Indonesia.
Selain bank yang didirikan oleh pemerintah Hindia
Belanda,ada juga bank yang didirikan oleh swasta yang dananya berasal dari
orang-orang Belanda, Inggris, Jepang, dan Cina. Bank-bank yang dimiliki oleh
orang Belanda adalah:
Nederland Handels Maatschappij (1824).
De Escomptobank N.V (1857), dan
Nationale Handelsbank (1863).
Bank-bank yang dimiliki oelh orang Inggris adalah:
The Chartered Bank of Hindia.
Hongkong ShanghaiShanghai BankingBanking
Corporation.
Bank-bank yang dimiliki oleh orang inggris adalah:
The Yokohama Shokin Bank, dan
The Mitsui Bank.
Bank-bank yang dimiliki oleh orang Cina adalah:
The Overseas Chinese Banking Corporation.
The Bank of China.
NV Batavia Bank, dan
NV Bank Vereeninging Oei Tiong Ham.
Keberadaan bank-bank swasta asing tersebut lebih
bersifat menguntungkan orang-orang asing dan bukunya memajukan perekonomian
rakyat Indonesia. Namun, untunglah terdapat beberapa tokoh (orang indonesia
yang memikirkan nasib perekonomian rakyat. Mereka mendirikan berbagai
organisasi yang kegiatannya untuk meningkatkan perekomonian orang indoensia. Di
antaraantara sekian banyak organisasi yang muncul di indonesia yang sangat
terkenal adalah:
BankBank Pyiyayi yang didirikan oleh Patih
Wiriaatmadja dii Purwokerto tahun 1896.
Indonesia StudyStudy Club, yang dipimpin oleh Dr.
Sutomo, mendirikan koperasi, sekolah tenun, pusat kerajinan, dan bank. Bank
yang didirikan di Surabaya diberi nama Bank Nasional Indonesia pada tahun 1925
NV Bank Boemi di Jakarta yang dipelopori oleh Sumanang.
Bank Nasional Abuan Saudagar di Bukittinggi.
Masa Kemerdekaan
setelah jepang menyerah pada Perang Dunia kedua,
Belanda kembali lagi ke Indonesia dengan membonceng tentara Inggris. Akibanya,
wilayah Indonesia saat itu terbagi menjadi dua, yaitu Daerah Republik yang
dikuasai oleh pemerintah Republik Indinesia dan Daerah Federal yang
diduduki oleh Belanda.
Di daerah Republik terdapat bank pemerintah dan bank
swasta. Bank pemerintah yang ada pada saat itu adalah:
Bank Negara Indonesia (BNI) yang didirikan tanggal 5
juli 1946.
Bank Rakyat Indonesia (BRI), yang berasal dari De
Algemene Volkscredietbank.
Adapun bank - bank swasta yang ada pada saat itu
adalah:
Bank Surakarta Maskapai Andil Bumi Puteri di Solo.
Bank Indonesia di Palembang.
Indonesia BankingBanking Corporaton di Yogyakarta,
dan
Bank Nasional Indonesia di Surabaya.
Di daerah Federasi terdapat bank yang dimiliki oleh
swasta, yakni
NV Bank Soelawesi di Manado.
NV Bank Perniagaan Indonesia.
NV Bank Timoer di Semarang.
Bank Dagang Indonesia VV di Banjarmasin, dan
Kalimantan TradingTrading Corpporation di Samarinda.
Dewasa ini di Indonesia terdapat banyak bankbank
yang dimiliki oleh pemerintah maupun swasta nasional dan swasta nasional dan swasta
asing, namun, menurut fungsinya bank-bank tersebut dapat dikelompokkan menjadi
Bank Sentral yaitu Bank Indonesia.
Bank Sentral di atur oleh Undang-Undang Republik
Indonesia No. 23 Tahun 1999 tentang Kemandirian Bank Sentral, sedangkan Bank
Umum dan Bank Perkreditan Rakyat diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia
No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Sejumlah pasal UU tersebut mengalami
perubahan melalui Undang-Undang No. Tahun 1998.
Sebelum kedatangan bangsa barat, nusantara telah
berkembang menjadi wilayah perdagangan internasional. Pada saat itu terdapat
dua jalur perniagaan internasional yang digunakan oleh para pedagang, jalur
darat dan jalur laut. Pada masa itu telah terdapat dua kerajaan utama di
nusantara yang mempunyai andil besar dalam meramaikan perniagaan internasional,
yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Dalam maraknya perniagaan tersebut belum ada
matamata uang baku yang dijadikan nilai standar. Meskipun masyarakat telah
mengenal mata uang dalam bentuk sederhana.
Sementara itu pada abad ke-15 bangsa-bangsa Eropa sedang berupaya memperluas
wilayah penjelajahannya di berbagai belahan dunia, termasuk AsiaAsia dan
Nusantara. sejak jatuhnya Konstantinopel ke tangan kekuasaan Turki Usmani
(1453), penjelajahan tersebut dipelopori oleh Spanyol dan Portugis yang
kemudian diikuti oleh Belanda, Inggris, dan Perancis. Kegiatan penjelajahan
tersebut telah mendorong munculnya paham merkantilisme di Eropa pada abad ke
16–17.
Selanjutnya pada akhir abad ke-18 revolusi industri
telah berlangsung di Eropa. Kegiatan industri berkembang dan hasil produksi
meningkat sehingga mendorong kegiatan ekspor ke wilayah AsiaAsia dan
AmerikaAmerika. Pesatnya perdagangan di Eropa memicu tumbuhnya lembaga pemberi
jasa keuangan yang merupakan cikal-bakal lembaga perbankan modern, antara lain
seperti Bank van Leening di Belanda. Kemudian secara bertahap bank-bank
tertentu di wilayah Eropa seperti Bank of England (1773), Riskbank (1809), Bank
of France (1800) berkembang menjadi bank sentral.
Munculnya Malaka sebagai emporium perdagangan telah menarik perhatian bangsa
Portugis yang akhirnya pada 1511 berhasil menguasai Malaka. Mereka terus
bergerak ke arah timur menuju sumber rempah-rempah di Maluku. Di sana Portugis
menghadapi bangsa Spanyol yang datang melalui FilipinaFilipina. Beberapa saat
kemudian bangsa Belanda juga berusaha menguasai sumber-sumber komoditi
perdagangan di Jawa dan Nusantara. Dengan mengibarkan bendera VOC yaitu
perusahaan induk penghimpun perusahaan-perusahaan dagang Belanda, mereka
mengukuhkan kekuasaanya di Batavia pada 1619. Untuk memperlancar dan
mempermudah aktivitas perdagangan VOC di Nusantara, pada 1746 didirikan De Bank
van Leening dan kemudian berubah menjadi De Bank Courant en Bank van Leening
pada 1752. Bank van Leening merupakan bank pertama yang beroperasi di
Nusantara. Pada akhir abad ke-18, VOC telah mengalami kemunduran, bahkan
kebangkrutan. Maka kekuasaan VOC di nusantara diambil alih oleh pemerintah
Kerajaan Belanda. Setelah masa pemerintahan HermanHerman William Daendels dan
Janssen, Hindia Timur akhirnya jatuh ke tangan Inggris.
Ratu Inggris mengutus Sir Thomas Stamford RafflesRaffles untuk memerintah
Hindia Timur. Tetapi pemerintahan Raffles tidak bertahan lama, karena setelah
usainya perang melawan Perancis (Napoleon) di Eropa, Inggris dan Belanda
membuat kesepakatan bahwa semua wilayah Hindia Timur diserahkan kembali kepada
Belanda. Sejak saat itu Hindia Timur disebut sebagai Hindia Belanda (Nederland
Indie) dan diperintah oleh Komisaris Jenderal (1815–1819) yang terdiri dari
Elout, Buyskes, dan van der Capellen. Pada periode inilah berbagai perbaikan
ekonomi mulai dilaksanakan di Hindia Belanda. Hingga nantinya Du Bus menyiapkan
beberapa kebijakan yang mempersiapkan didirikannya De Javasche Bank pada 1828.
Perkembangan II.
Gagasan pembentukan bank sirkulasi untuk Hindia
Belanda dicetuskan menjelang keberangkatan Komisaris Jenderal Hindia Belanda
Mr. C.T. Elout ke Hindia Belanda. Kondisi keuangan di Hindia Belanda dianggap
telah memerlukan penertiban dan pengaturan sistem pembayaran dalam bentuk
lembaga bank. Pada saat yang sama kalangan pengusaha di Batavia, Hindia
Belanda, telah mendesak didirikannya lembaga bank guna memenuhi kepentingan
bisnis mereka. Meskipun demikian gagasan tersebut baru mulai diwujudkan ketika
Raja Willem I menerbitkan Surat Kuasa kepada Komisaris Jenderal Hindia Belanda
pada 9 Desember 1826. Surat tersebut memberikan wewenang kepada pemerintah
Hindia Belanda untuk membentuk suatu bank berdasarkan wewenang khusus berjangka
waktu, atau lazim disebut oktroi.
Dengan surat kuasa tersebut, pemerintah Hindia Belanda mulai mempersiapkan
berdirinya DJB. Pada 11 Desember 1827, Komisaris Jenderal Hindia Belanda
Leonard PierrePierre Joseph Burggraaf Du Bus de Gisignies mengeluarkan Surat
Keputusan No. 28 tentang oktroi dan ketentuan-ketentuan mengenai DJB. Kemudian
pada 24 Januari 1828 dengan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Hindia Belanda
No. 25 ditetapkan akte pendirian De Javasche Bank (DJB). Pada saat yang sama
juga diangkat Mr. C. de Haan sebagai Presiden DJB dan C.J. Smulders sebagai
sekretaris DJB.
Oktroi merupakan ketentuan dan pedoman bagi DJB dalam menjalankan usahanya.
Oktroi DJB pertama berlaku selama 10 tahun sejak 1 Januari 1828 sampai 31
Desember 1837 dan diperpanjang sampai dengan 31 Maret 1838. Pada periode oktroi
keenam, DJB melakukan pembaharuan akte pendiriannya di hadapan notaris Derk
Bodde di Jakarta pada 22 Maret 1881. Sesuai dengan akte baru DJB, statusstatus
bank diubah menjadi Naamlooze Vennootschap (N.V.).
Dengan perubahan akte tersebut, DJB dianggap sebagai
perusahaan baru. Oktroi kedelapan adalah oktroi DJB terakhir hingga berlakunya
DJB Wet pada 1922. Pada periode oktroi terakhir ini, DJB banyak mengeluarkan
ketentuan baru dalam bidang sistem pembayaran yang mengarah kepada perbaikan
bagi lalu lintas pembayaran di Hindia Belanda. Oktroi kedelapan berakhir hingga
31 Maret 1921 dan hanya diperpanjang selama satu tahun sampai dengan 31 Maret
1922.
Perkembanngan III..
Pada 31 Maret 1922 diundangkan De Javasche Bankwet 1922 (DJB Wet). Bankwet 1922
ini kemudian diubah dan ditambah dengan UU tanggal 30 April 1927 sertaserta UU
13 November 1930. Pada dasarnya De Javasche Bankwet 1922 adalah perpanjangan
dari oktroi kedelapan DJB yang berlaku sebelumnya. Masa berlaku Bankwet 1922
adalah 15 tahun ditambah dengan perpanjangan otomatis satu tahun, selama tidak
ada pembatalan oleh gubernur jenderal atau pihak direksi. Pimpinan DJB pada
periode DJB Wet adalah direksi yang terdiri dari seorang presiden dan
sekurang-kurangnya dua direktur, satu di antaranya adalah sekretaris. Selain
itu terdapat jabatan presiden pengganti I, presiden pengganti II, direktur
pengganti I, dan direktur pengganti II. Penetapan jumlah direktur ditentukan
oleh rapat bersama antara direksi dan dewan komisaris. Pada periode ini DJB terdiri
atas tujuh bagian, di antaranya bagian ekonomi statistikstatistik, sekretaris,
bagian wesel, bagian produksi, dan bagian efek-efek.
Pada periode ini DJB berkembang pesat dengan 16 kantor cabang, antara lain:
Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Malang, Kediri,
Kutaraja, Medan, Padang, Palembang, Banjarmasin, Pontianak, Makassar, dan
Manado, sertaserta kantor perwakilan di Amsterdam, dan New York. DJB Wet ini
terus berlaku sebagai landasan operasional DJB hingga lahirnya Undang-undang
Pokok Bank Indonesia 1 Juli 1953.
Perkembangan IV
Pecahnya Perang Dunia II di Eropa terus menjalar
hingga ke wilayah Asia Pasifik. Militer Jepang segera melebarkan wilayah
invasinya dari daratan Asia menuju Asia Tenggara. Menjelang kedatangan Jepang di
Pulau Jawa, Presiden DJB, Dr. G.G. van Buttingha Wichers, berhasil memindahkan
semua cadangan emasnya ke Australia dan Afrika Selatan. Pemindahan tersebut
dilakukan lewat pelabuhan Cilacap. Setelah menduduki Pulau Jawa pada bulan
Februari-Maret 1942, tentara Jepang memaksa penyerahan seluruh aset bank kepada
mereka. Selanjutnya, pada bulan April 1942, diumumkan suatu banking-moratorium
tentang adanya penangguhan pembayaran kewajiban-kewajiban bank. Beberapa bulan
kemudian, pimpinan tentara Jepang untuk Pulau Jawa, yang berada di Jakarta,
mengeluarkan ordonansi berupa perintah likuidasi untuk seluruh bank Belanda,
Inggris, dan beberapa bank Cina. Ordonansi serupa juga dikeluarkan oleh komando
militer Jepang di Singapura untuk bank-bank di Sumatera, sedangkan kewenangan
likuidasi bank-bank di Kalimantan dan Great East diberikan kepada Navy Ministry
di Tokyo.
Fungsi dan tugas bank-bank yang dilikuidasi
tersebut, kemudian diambil alih oleh bank-bank Jepang, seperti Yokohama Specie
Bank, Taiwan Bank, dan Mitsui Bank, yang pernah ada sebelumnya dan ditutup oleh
Belanda ketika mulai pecah perang. Sebagai bank sirkulasi di Pulau Jawa,
dibentuklah Nanpo Kaihatsu Ginko yang melanjutkan tugas tentara pendudukan
Jepang dalam mengedarkan invansion money yang dicetak di Jepang dalam tujuh
denominasi, mulai dari satu hingga sepuluh gulden. Sampai pertengahan bulan
Agustus 1945, telah diedarkan invansion money senilai 2,4 milyar gulden di
Pulau Jawa, 1,4 milyar gulden di Sumatera, serta dalam nilai yang lebih kecil
di Kalimantan dan Sulawesi. Sejak tanggal 15 Agustus 1945, juga masuk dalam
peredaran senilai 2 milyar gulden, yang sebagian berasal dari uang yang ditarik
dari bank-bank Jepang di Sumatera serta sebagian lagi dicuri dari De Javasche
Bank Surabaya dan beberapa tempat lainnya. Hingga bulan Maret 1946, jumlah uang
yang beredar di wilayah Hindia Belanda berjumlah sekitar delapan milyar gulden.
Hal tersebut menimbulkan hancurnya nilai mata uang dan memperberat beban
ekonomi wilayah Hindia Belanda.
Perkembangan V.
Setelah Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945, Indonesia segera memproklamasikan
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Keesokan harinya, pada 18 Agustus 1945
telah disusun Undang-Undang Dasar 1945. Dalam penjelasan UUD 1945 Bab VIII
pasal 23 Hal Keuangan yang menyatakan cita-cita membentuk bank sentral dengan
nama Bank Indonesia untuk memperkuat adanya kesatuan wilayah dan kesatuan
ekonomi-moneter. Sementara itu dengan membonceng tentara Sekutu, Belanda
kembali mencoba menduduki wilayah yang pernah dijajahnya. Maka dalam wilayah
Indonesia terdapat dua pemerintahan yaitu: pemerintahan Republik Indonesia dan
pemerintahan Belanda atau Nederlandsche Indische Civil Administrative (NICA).
Selanjutnya NICA membuka akses kantor-kantor pusat Bank Jepang di Jakarta dan menugaskan
DJB menjadi bank sirkulasi mengambil alih peran Nanpo Kaihatsu Ginko. Tidak
lama kemudian DJB berhasil membuka sembilan cabangnya di wilayah-wilayah yang
dikuasai oleh NICA. Pembukaan cabang-cabang DJB terus berlanjut seiring dengan
dua agresi militer yang dilancarkan Belanda kepada Indonesia. Sementara itu di
wilayah yang dikuasai oleh Republik Indonesia, dibentuk Jajasan Poesat Bank
Indonesia (Yayasan Bank Indonesia) yang kemudian melebur dalam Bank Negara
Indonesia sebagai bank sirkulasi berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No.2/1946. Namun demikian situasi perang kemerdekaan dan
terbatasnya pengakuan dunia sangat menghambat peran BNI sebagai bank sirkulasi.
Namun demikian pada 30 Oktober 1946, pemerintah dapat menerbitkan Oeang
Repoeblik Indonesia (ORI) sebagai uang pertama Republik Indonesia. Periode ini
ditutup dengan Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 yang memutuskan DJB sebagai
bank sirkulasi untuk Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Bank Negara Indonesia
sebagai bank pembangunan.
Perkembangan VI.
Pada Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan
Republik Indonesia sebagai bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada
saat itu, sesuai dengan keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB), fungsi bankbank
sentral tetap dipercayakan kepada De Javasche Bank (DJB). Pemerintahan RIS
tidak berlangsung lama, karena pada tanggal 17 Agustus 1950, pemerintah RIS
dibubarkan dan Indonesia kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Pada saat itu, kedudukan DJB tetap sebagai bankbank sirkulasi.
Berakhirnya kesepakatan KMB ternyata telah mengobarkan semangat kebangsaan yang
terwujud melalui gerakan nasionalisasi perekonomian Indonesia. Nasionalisasi
pertama dilaksanakan terhadap DJB sebagai bank sirkulasi yang mempunyai peranan
penting dalam menggerakkan roda perekonomian Indonesia. Sejak berlakunya
Undang-undang Pokok Bank Indonesia pada tanggal 1 Juli 1953, bangsa Indonesia
telah memiliki sebuah lembaga bank sentral dengan nama Bank Indonesia.
Sebelum berdirinya Bank Indonesia, kebijakan moneter, perbankan, dan sistem
pembayaran berada di tangan pemerintah. Dengan menanggung beban berat
perekonomian negara pasca perang, kebijakan moneter Indonesia ditekankan pada
peningkatan posisi cadangan devisa dan menahan laju inflasi. Sementara itu,
pada periode ini, pemerintah terus berusaha memperkuat sistem perbankan
Indonesia melalui pendirian bank-bank baru. Sebagai bank sirkulasi, DJB turut
berperan aktif dalam mengembangkan sistem perbankan nasional terutama dalam
penyediaan dana kegiatan perbankan. Banyaknya jenis matamata uang yang beredar
memaksa pemerintah melakukan penyeragaman mata uang. Maka, meski hanya untuk
waktu yang singkat, pemerintah mengeluarkan uang kertas RIS yang menggantikan
Oeang Republik Indonesia dan berbagai jenis uang lainnya. Akhirnya, setelah
sekian lama berlaku sebagai acuan hukum pengedaran uang di Indonesia, Indische
Muntwet 1912 diganti dengan aturan baru yang dikenal dengan Undang-undang Mata
Uang 1951
Sumber: